6 mins read

Daftar film bergenre Psychological horror

1. Maniac (2012)

Frank Zito tampak seperti pria pemalu yang menjalankan toko manekin warisan ibunya di pinggiran kota. Namun di balik wajah tenangnya, tersimpan jiwa yang terganggu oleh trauma masa kecil dan hubungan yang rusak dengan sang ibu. Sepeninggal ibunya yang abusif, Frank mengalami halusinasi dan delusi yang membawanya pada dorongan untuk membunuh. Ia mulai memburu perempuan, membunuh mereka, lalu menggunakan kulit kepala korban untuk mendandani manekin seolah mereka masih hidup.

Dari sudut pandang kamera orang pertama, penonton menyaksikan langsung bagaimana Frank memanipulasi, mengikuti, dan menyerang para korbannya dengan kekejaman dingin. Saat ia bertemu seorang fotografer bernama Anna yang tulus dan penuh empati, Frank mencoba menahan dorongan gelapnya. Namun pikirannya yang telah rusak perlahan menghancurkan batas antara realita dan delusi. Hubungan dengan Anna malah menjadi pemicu baru yang mempercepat kehancuran psikologisnya.

Film ini menggambarkan pengalaman berada dalam kepala seorang pembunuh secara intens dan mengganggu. Suara hati Frank yang terus berbicara di sepanjang film menciptakan atmosfer tertekan dan tak nyaman. Maniac bukan hanya tentang pembunuhan brutal, tapi tentang rasa sepi yang ekstrem, luka batin masa lalu, dan keinginan akan koneksi yang mustahil. Sebuah potret tragis tentang seseorang yang kehilangan kendali atas realitas dan dirinya sendiri.

2. The House That Jack Built (2018)

Jack adalah seorang pria perfeksionis yang terobsesi pada arsitektur dan kematian. Di balik wajah tenangnya, ia menyembunyikan hasrat membunuh yang ia anggap sebagai karya seni. Ia memulai perjalanannya sebagai pembunuh berantai dengan merancang setiap pembunuhan seperti sebuah proyek artistik. Semakin lama, aksinya menjadi lebih sadis dan simbolis, mencerminkan kerusakan batinnya.

Dalam film ini, Jack mengajak seorang tokoh misterius bernama Verge dalam percakapan panjang menuju neraka. Ia menceritakan lima insiden paling berkesan dalam hidupnya, yang semuanya penuh kekerasan dan manipulasi. Setiap segmen memperlihatkan bagaimana Jack menganggap moralitas sebagai ilusi dan membenarkan kekejamannya lewat filsafat dan estetika. Penonton diajak masuk ke dalam pikiran seorang sosiopat yang memandang penderitaan sebagai bentuk ekspresi.

Disutradarai oleh Lars von Trier, film ini adalah eksplorasi psikologis yang sangat disturbing dan penuh simbolisme. Dengan pendekatan yang dingin dan intens, kita menyaksikan bagaimana seseorang perlahan kehilangan kemanusiaannya demi keagungan egonya. The House That Jack Built bukan hanya tentang pembunuhan, tetapi juga tentang pertarungan antara seni dan etika, serta kehancuran jiwa yang tidak diselamatkan. Film ini menantang, menyakitkan, dan mengguncang secara emosional dan intelektual.

3. Angst (1983)

Seorang pria baru saja dibebaskan dari penjara setelah menjalani hukuman atas kasus pembunuhan. Namun kebebasannya tidak membawanya pada penebusan, melainkan memperkuat obsesi untuk membunuh lagi. Dengan pandangan kosong dan pikiran penuh kekacauan, ia berkeliaran di jalanan Austria mencari korban pertamanya. Kamera mengikuti langkahnya dengan gerakan melayang yang tidak stabil, mencerminkan isi kepalanya yang tidak waras.

Saat ia tiba di sebuah rumah terpencil yang dihuni oleh seorang ibu tua, putranya yang cacat, dan seorang wanita muda, dorongan membunuhnya meledak. Ia menyiksa para penghuni rumah dengan cara keji dan tanpa emosi, hanya untuk memuaskan hasrat batinnya yang tidak terkendali. Sepanjang waktu, narasi internalnya terus berbicara—dingin, logis, dan sepenuhnya terlepas dari moralitas. Ia tidak menyesali apa pun, bahkan merasa bangga atas kekacauan yang ia timbulkan.

Angst bukanlah film yang berfokus pada plot, melainkan potret mentah dari pikiran seorang pembunuh yang terlepas dari batas-batas kemanusiaan. Disutradarai oleh Gerald Kargl dan difilmkan dengan gaya eksperimental oleh Zbigniew Rybczyński, film ini menyuguhkan teror yang nyata, tanpa dramatisasi. Dengan suara napas dan monolog yang mencekam, penonton dipaksa untuk menyaksikan kekejaman tanpa alasan. Angst adalah salah satu film paling disturbing yang pernah dibuat, dan tetap menjadi cult classic dalam genre psikologis ekstrem.

4. The Golden Glove (2019)

The Golden Glove mengikuti kisah nyata Fritz Honka, seorang pria bertubuh bungkuk, berwajah rusak, dan tinggal di Hamburg tahun 1970-an. Di siang hari, dia hanyalah pekerja kasar yang nyaris tak diperhatikan. Namun saat malam tiba, dia mengunjungi bar kumuh bernama Golden Glove, tempat berkumpulnya pecandu alkohol dan orang-orang yang terbuang. Dari sana, ia memilih korbannya: perempuan tua dan kesepian.

Fritz membawa para korban ke apartemen kotornya, yang penuh bau busuk dan bangkai tikus. Tanpa ampun, ia membunuh dan menyembunyikan jasad mereka di balik dinding dan loteng apartemen. Film ini memperlihatkan secara detail kehidupan sehari-hari yang suram, kekerasan domestik, dan kondisi sosial bawah tanah Jerman pasca perang. Visual yang gelap dan menjijikkan menambah kesan realisme yang mencekam.

Sutradara Fatih Akin tidak berusaha membangun empati, melainkan mengajak penonton menyelami kehampaan dan kehancuran moral. The Golden Glove bukan hanya kisah tentang seorang pembunuh, tapi juga potret masyarakat yang hancur dan diam terhadap kekerasan. Film ini brutal, mengganggu, dan penuh rasa tidak nyaman dari awal hingga akhir. Ia menantang batas toleransi penonton terhadap horor psikologis dan fisik yang nyata.

5. Funny Games (1997)

Sebuah keluarga kecil yang sedang berlibur ke rumah musim panas mereka di pinggiran danau tiba-tiba kedatangan dua pemuda asing dengan perilaku sopan namun aneh. Kedua pria itu, Paul dan Peter, berpakaian serba putih dan awalnya tampak hanya ingin meminjam telur. Namun, percakapan yang tampaknya sepele segera berubah menjadi konfrontasi yang menakutkan. Dalam hitungan menit, rumah mereka menjadi medan teror tanpa jalan keluar.

Paul dan Peter mulai memainkan “permainan” sadis terhadap keluarga tersebut—ibu, ayah, dan anak laki-laki kecil mereka. Kekerasan tidak datang dengan teriakan atau musik mendebarkan, tapi lewat keheningan yang mengerikan dan kendali penuh atas korban mereka. Tidak ada motif jelas, tidak ada dendam masa lalu—hanya kekacauan yang dilakukan demi kesenangan. Sepanjang film, mereka mengeksplorasi kekejaman sebagai hiburan, seperti seolah menantang penonton.

Film ini secara tajam meruntuhkan dinding antara fiksi dan realitas. Paul sesekali berbicara langsung kepada kamera, mempermainkan harapan penonton dan merusak konvensi film thriller biasa. Funny Games bukan sekadar film kekerasan, melainkan komentar tajam tentang cara masyarakat mengonsumsi kekerasan sebagai hiburan. Haneke menciptakan suasana yang sunyi namun menyesakkan, membuat penonton merasa bersalah karena menonton tetapi tak bisa berpaling.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *